Kos Kosan Nenek Saya

Kapanpun saya memikirkan almarhumah nenek saya, ada beberapa hal yang saya ingat jelas: saat ia membawa saya dan saudara laki-laki saya ke tempat bermain yang sangat besar di dalam mall. Cara ia berbahasa Belanda dengan sempurna ke orang-orang seumurnya, dan rumah besarnya yang ia ubah menjadi kos-kosan setelah kakek saya meninggal.

Saya ingat tante Jujuk – salah satu penyewa kos paling lama, yang biasanya pulang kantor langsung duduk di ruang makan untuk minum teh dengan nenek saya. dan berkali-kali bercerita kepada saya dan ibu saya, kapanpun kami berkunjung, tentang enaknya masakan nenek. Atau tante Sri – yang selalu mengundang saya yang penasaran, ke kamarnya, setiap kali kita mengobrol. Saya ingat betapa dekatnya hubungan nenek saya dengan para penyewa di kos-kosannya, dan betapa mereka menghormatinya. Kami bahkan sempat mengundang tante Jujuk ke pernikahan saya karena ia sudah menjadi sahabat dekat keluarga kami.

cerita anak kost

Saat ini, saya sudah jarang melihat hal seperti itu di sekitar.

Kisah Alex

Kamar sewa, atau yang biasa disebut kos-kosan, adalah hal yang biasa bagi para eksekutif muda yang tinggal di ibukota. Kemacetan dan memiliki tempat tinggal di daerah yang cukup jauh dari pusat kota menjadi alasan untuk tinggal di kos-kosan yang dekat dengan kantor atau kampus, daripada harus melakukan perjalanan selama empat hingga lima jam setiap hari dari dan ke rumah orangtua. Bayangkan waktu perjalanan yang harus ditempuh dari Sudirman ke Bekasi — yang berjarak 23km — saat kecepatan rata-rata hanya 5km/jam di area CBD (Central Business District).

“Saya sudah tinggal di kos-kosan sejak kuliah karena perjalanan dari Ciledug ke Depok setiap hari terlalu melelahkan,” kata Alex, seorang eksekutif muda berumur 28 tahun yang bekerja sebagai konsultan keuangan. “Sekarang saya lebih memilih untuk tinggal dekat dengan kantor agar bisa menghemat waktu dan bisa lebih banyak beristirahat; suatu hal yang tidak bisa saya dapatkan jika saya masih tinggal di rumah orang tua saya.”

Alex tentu bukan satu-satunya yang berpendapat seperti itu. Banyak eksekutif muda yang juga merasakan hal yang sama ketika ditanya mengenai pentingnya memiliki tempat tinggal dekat dengan kantor atau kampus. Jam kerja yang panjang, perjalanan jauh, serta tekanan dan ekspektasi di kantor atau kampus pada akhirnya membuat mereka ingin memiliki waktu ekstra untuk beristirahat. Kos-kosan adalah solusi utamanya.

Kisah Utami

“Kadang ketika saya tiba di kos-kosan, rasanya saya ingin langsung tidur saja. Pokoknya tidak ingin melakukan apa-apa lagi,” kata Utami, 31, yang bekerja di sebuah NGO di Jakarta Selatan. Ia memilih untuk tinggal dekat dengan kantornya, di sebuah rumah sewa berukuran sedang, dengan tiga penyewa wanita lainnya. “Itulah sebabnya, saya jarang bersosialisasi dengan penyewa yang lain. Jangan berprasangka buruk ya,” ia menambahkan dengan sedikit senyuman.

Sekali lagi, Utami bukan satu-satunya yang merasa demikian.

Seiring berjalannya waktu, permintaan untuk adanya kos-kosan yang nyaman pun bertambah. Karena itu, mulai banyak kos-kosan yang mencoba untuk meningkatkan kenyamanan serta fasilitas yang ada agar bisa menjadi “rumah kedua” bagi kaum pekerja keras tersebut. Fasilitas laundry kiloan, akses internet, kamar mandi pribadi, jasa antar barang, lahan parkir — semua ditujukan untuk memenuhi standar kos-kosan yang lebih tinggi bagi para eksekutif muda.

Sebelumnya, definisi kos-kosan adalah sebuah kamar yang disewakan di sebuah rumah. Sekarang, ia adalah sebuah kamar sewa di sebuah rumah penuh dengan kamar sewa. Jika tadinya berbagi dapur, ruang makan, serta kamar mandi dianggap sebagai sebuah kebiasaan — sekarang, setiap kamar sudah memiliki kamar mandi pribadi dan sebagian kos-kosan bahkan tidak memiliki ruangan bersama kecuali teras atau bagian pintu masuk. Apa yang dahulu dianggap sebagai penghasilan tambahan untuk rumahan, sekarang sudah menjadi bisnis penuh untuk meraih profit.

Perubahan Trend di Masa Kini

Dengan perubahan ini, saat standar kos-kosan sudah semakin tinggi, kita bisa melihat adanya kebiasaan-kebiasaan yang hilang. Contohnya obrolan ringan serta canda tawa saat berkumpul di ruang keluarga, kebersamaan saat makan, atau menonton acara TV seru bersama. Kita tidak lagi berkomunikasi dengan sesama penyewa, tidak seperti dulu.

Saya menyadari banyak hal yang menjadi pemicu perubahan kebiasaan ini, salah satunya adalah smart phone. Selain itu, tekanan untuk selalu menjadi yang terbaik. Terkadang, ketika kita terlalu sibuk memikirkan diri sendiri, kita lupa bahwa ada orang lain di sekeliling kita.

Eva

“Mungkin karena saat kita tinggal di kos-kosan, kita tidak pernah tau siapa yang akan menjadi tetangga kita. Bisa cocok, bisa tidak. Terkadang, kita malah tidak ingin cari tau,” kata Eva, 38, teman dekat saya yang merupakan penulis/editor freelance di Jakarta.

Mendengarkan pendapat Eva membuat saya berpikir, apakah kita benar-benar skeptis mengenai orang lain, atau kita hanya tidak peduli? Atau kita bersikap seperti itu karena memang tidak ada tuntutan untuk bersikap sebaliknya?

Di kantor, kita ditugaskan di posisi tertentu — sebagai supervisor, sebagai executive, sebagai manager. Kita memiliki sejumlah norma dan peraturan (yang biasanya tidak tertulis) yang harus kita taati. Saat menjadi manager, kita diharuskan untuk bersikap asertif dan efektif. Saat menjadi executive, kita diharuskan untuk menghormati mereka yang lebih superior dalam struktur organisasi. Kita memahami berbagai posisi ini, apa yang diharapkan, dan kita selalu bersikap sesuai dengan berbagai ekspektasi tersebut.

Hal yang sama juga terjadi di sekolah, kampus, serta lingkungan keluarga. Kita paham betul posisi serta peran yang dimainkan, lalu kita bersikap sesuai dengan ekspektasi. Dengan kata lain, kita paham medannya dan dengan mudah kita melaluinya.
Namun, di sebuah kos-kosan, ada pemahaman yang berbeda. Terutama di kos-kosan modern. Peran yang harus dimainkan tidak terlihat jelas. Kita sadar adanya pemilik properti, tetapi kita jarang bertemu dengan mereka, dan umumnya hanya berasosiasi dengan pengurus kos-kosan. Jadi kita tidak tau siapa yang memainkan peran “bos” di sana. Dengan penyewa yang lain, kita bukanlah superior, maupun inferior. Namun untuk mengatakan bahwa kita kolega juga rasanya terlalu memudahkan persoalan, karena kita tidak benar-benar kenal satu sama lain. Kita tidak yakin akan ekspektasi peran dalam kehidupan sosial di kos-kosan. Apakah kita diharapkan untuk saling tersenyum? Saling menyapa? Memberikan kue selamat datang kepada penyewa baru? Berkumpul setiap minggu? Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan ini. Maka dari itu, kebanyakan dari kita memilih sikap terbaik: diam saja dan urus urusan kita sendiri.

 

Selain berbagai pertanyaan di atas yang tidak ada habisnya, sebagian dari kita juga sudah terlalu lelah ketika sampai di kos-kosan. Setelah 10 jam bekerja, 1 jam berolahraga, dan 1 jam makan malam bersama teman-teman, kita hanya ingin mandi air hangat lalu tidur. Wajar saja jika bersenda gurau dengan sesama penyewa atau mengantri kamar mandi bukanlah hal yang ingin kita lakukan di akhir hari yang panjang.

Jadi, ya, kita memang kurang bersosialisasi dengan sesama penyewa. Kita tidak lagi bercanda tawa di ruang keluarga, atau menonton acara televisi bersama. Tapi apakah ada yang bisa disalahkan? Kebanyakan kos-kosan sudah tidak menyediakan ruang untuk berkumpul bersama, atau dapur bersama. Haruskah kita mengundang tetangga ke dalam kamar? Selain itu dengan pekerjaan yang menuntut 10 hingga 12 jam dalam sehari (ya, zaman sekarang sudah tidak ada orang yang benar-benar bekerja 8 jam), apakah masih tersisa energi untuk berbasa-basi pada pukul 9 malam?

Mungkin alasannya bukan karena kita tidak ingin berbicara satu sama lain, atau karena kita tidak saling peduli. Mungkin kita hanya mencari tempat yang hangat dan nyaman untuk mengobrol dengan sesama penyewa. Mungkin harusnya kita merasakan serunya menonton bersama untuk mengetahui siapa yang dikirim pulang dari Indonesian Idol. Atau mungkin kita juga sebenarnya menginginkan teman untuk minum kopi atau teh bersama di ruang makan.

Mengenai hal itu, Eva juga mengatakan sesuatu yang cukup menarik. “Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial. Kita ingin merasa nyaman dan kita ingin mempercayai satu sama lain. Jadi, kalau tersedia lingkungan yang nyaman, kita akan kembali pada naluri alamiah kita — mempercayai, berinteraksi, dan membangun kenyamanan.”

Sekarang saya ingat kembali mengapa kos-kosan nenek saya selalu penuh dan orang-orang yang tinggal di sana bersikap sangat ramah kepada kami. Karena nenek selalu membuka ruang makan, dan selalu menyediakan makanan di meja — meskipun terkadang sedikit atau hanya cemilan. Hal itu membuat para penyewa merasa hangat. Seperti di rumah. Ya, seperti mereka ada di rumah kedua.

Namun untuk sebagian dari kita, apa yang benar-benar kita bagi bersama, selain alamat yang sama?


SIGN INTO YOUR ACCOUNT CREATE NEW ACCOUNT

 
×
CREATE ACCOUNT ALREADY HAVE AN ACCOUNT?
 
×
FORGOT YOUR DETAILS?
×

Go up